Oleh: W. Friendica M. Aprilawan Putera, Analis KNEKS, Setjen Kemenkeu *)
Insan ekonomi syariah berharap adanya creative financing dalam bentuk kerjasama pemerintah badan usaha (KPBU) syariah sebagai salah satu solusi atas keterbatasan APBN dalam membiayai program pembangunan nasional. Namun aset keuangan syariah yang hanya 9,89% dari total aset keuangan nasional per Maret 2022 diperkirakan masih belum mampu membiayai suatu proyek KPBU secara mandiri sehingga mimpi penggunaan akad syariah dalam seluruh bagian kontrak proyek KPBU Syariah diperkirakan hanya dapat terwujud untuk sebagian kontrak saja.
KPBU dan Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur telah menjadi agenda prioritas nasional untuk memenuhi ketersediaan layanan dasar, peningkatan produktivitas, serta mendukung penyelesaian proyek prioritas dan strategis. Oleh karena itu, kebutuhan investasi infrastruktur terus meningkat dari tahun ke tahun dengan diperkirakan mencapai Rp6.445 triliun pada 2020-2024, meningkat 34,3% dibandingkan periode 2015-2019 sebesar Rp4.796 triliun.
Peningkatan ini selaras dengan kebijakan Pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur, khususnya yang memperkuat konektivitas nasional, infrastruktur dasar seperti perumahan, air bersih, sanitasi, dan listrik, menjamin ketahanan air, pangan, dan energi, serta pengembangan sistem transportasi massal perkotaan, sebagai penopang pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Namun keterbatasan APBN menyebabkan Pemerintah terkendala dalam penyediaan infrastruktur dasar sehingga memerlukan peran aktif dari BUMN maupun swasta, salah satunya melalui skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
Salah satu fokus yang disebutkan dalam advertorial RAPBN 2022 dibidang pembiayaan adalah skema KPBU yang lebih masif. KPBU menjadi primadona dikarenakan memungkinkan keterlibatan swasta dalam penentuan proyek yang layak untuk dikembangkan, pengelolaan, hingga pemeliharaan sehingga layanan publik yang dihasilkan dari penyediaan infrastruktur dapat lebih efektif dan efisien. KPBU juga dapat ditawarkan secara syariah dengan cara kontrak antara Pemerintah yang diwakili Menteri/Kepalda Lembaga/Kepala Daerah/Kepala BUMD/BUMN selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dan Badan Usaha Pelaksana (BUP) serta perolehan pembiayaan atas proyek KPBU harus sesuai prinsip syariah. Dari sisi mitigasi, investasi pada proyek KPBU yang penyiapannya didukung dan dijamin oleh Pemerintah sebagai underlying asset juga lebih diminati oleh swasta.
Dalam pola Public Private Partnership (PPP) Book 2019 yang diterbitkan Bappenas menyebutkan bahwa potensi proyek KPBU, yang juga dapat dilaksanakan menggunakan KPBU syariah, mencapai Rp67,8 triliun. Namun hingga saat ini, hanya terdapat satu proyek KPBU Syariah sebagai pilot project yang akan dilaksanakan secara end-to-end syariah dari hulu ke hilir, menggunakan akad sesuai syariah untuk semua bagian proyek, yaitu program pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUD ZA), Aceh. KPBU Syariah RSUD ZA direncanakan sebagai pilot project di Indonesia yang juga didorong regulasi Qanun selaku Peraturan Daerah di Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, meski dalam pelaksanaannya masih mengalami beberapa kendala.
Pada awalnya, nilai proyek RSUD ZA di PPP Book 2019 mencapai USD 104,16 juta, namun mundurnya pelaksanaan proyek akibat beberapa kendala menyebabkan diperlukannya penghitungan kembali atas nilai proyek. Penghitungan kembali proyek diperkirakan akan meningkatkan nilai proyek yang berdampak pada peningkatan biaya investasi yang diperlukan untuk membangun proyek tersebut. Dengan keterbatasan aset keuangan syariah di Indonesia, hal ini dirasa akan menyulitkan.
Keterbatasan End-to-End KPBU Syariah
Bank Umum Syariah (BUS) masih perlu berkolaborasi dengan Badan Usaha Konvensional (BUK) dalam suatu proyek KPBU syariah dengan nilai yang besar. Berdasarkan laporan Market Update Keuangan Syariah (LA-MUKS) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diketahui bahwa total aset keuangan syariah nasional mencapai Rp2.024,89 triliun atau 9,89% dari total aset keuangan nasional per Maret 2022.
Dari jumlah tersebut, total aset perbankan syariah nasional hanya mencapai Rp691,57 triliun atau 6,70% dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp10.319,34 triliun. Menilik pada total aset perbankan syariah yang relatif masih kecil dibandingkan konvensional, maka diperlukan kolaborasi melalui sindikasi pembiayaan antara BUS dengan melibatkan BUK dalam suatu KPBU syariah dengan nilai proyek yang besar.
Keterbatasan tersebut terlihat pada dua proyek Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) Jalan Lintas Timur (Sumatera) ruas Riau dan Sumatera Selatan dengan nilai proyek masing-masing Rp585,3 miliar dan Rp916,4 miliar pada akhir tahun 2021 yang menggunakan pembiayaan sindikasi perbankan antara BUS dan BUK dengan dipimpin oleh Bank Syariah Indonesia (BSI), serta melibatkan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Namun dikarenakan besarnya nilai proyek, maka Bank Umum Syariah (BUS) juga melibatkan Bank Umum Konvensional (BUK) dalam sindikasi, seperti Bank Panin Dubai dalam proyek Jalintim Sumsel. Keterlibatan BUK dalam suatu proyek KPBU Syariah menyebabkan masih digunakannya penjaminan konvensional, meski hanya untuk beberapa ruas/bagian dalam proyek KPBU Syariah.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 tahun 2020 telah membentuk Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang diberi tugas untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi nasional. KNEKS dipimpin langsung oleh Presiden selaku Ketua dan Wakil Presiden selaku Wakil Ketua merangkap Ketua Harian.
Salah satu program prioritas KNEKS sebagaimana disebutkan dalam Buku Rencana Kerja KNEKS periode 2020-2024 adalah KPBU Syariah secara end-to-end syariah yang dilaksanakan dari hulu sejak penandatanganan akad kontrak antara PJPK dengan BUP harus sesuai syariah hingga ke hilir yaitu perolehan pembiayaan BUP untuk mendanai proyek diharapkan berasal dari LKS serta juga menggunakan penjaminan proyek dengan skema syariah. Dengan seluruh tahapan proyek menggunakan keuangan syariah, maka diharapkan proyek KPBU Syariah tersebut dapat terbebas dari riba.
Dapat disimpulkan, rendahnya kapitalisasi keuangan syariah nasional berdampak pada belum mampunya keuangan syariah untuk menopang pembiayaan proyek KPBU bernilai besar secara mandiri. Oleh karena itu, masih dibutuhkan dukungan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, untuk menyediakan proyek bernilai kecil hingga menengah yang sekiranya dapat dibiayai keuangan syariah secara mandiri untuk dijadikan pilot project. Diharapkan cerita sukses atas penerapan pilot project end-to-end KPBU Syariah di proyek yang dibiayai sepenuhnya secara mandiri oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat menjadi benchmark dan direplikasi pada proyek lain yang lebih besar. *)Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis
***
Artikel ini diterbitkan oleh Harian Ekonomi Neraca pada Rabu, 12 Oktober 2022
Link artikel asli: https://www.neraca.co.id/article/167354/mewujudkan-mimpi-kpbu-syariah-dari-hulu-ke-hilir