Satu bulan menuju Bulan Zulhijah, yaitu umat muslim dunia akan merayakan Bulan Suci Idul Adha. Hari raya tersebut adalah untuk memperingati peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya Isma'il sebagai wujud kepatuhan kepada Allah S.W.T.
Serempak dirayakan oleh seluruh umat muslim dunia, proses penyembelihan, konsumsi, dan distribusi hewan kurban pun menjadi aktivitas rutin umat muslim setiap tahunnya. Baru-baru ini, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) melanda ternak di berbagai wilayah Indonesia. Seperti, di Aceh dan Jawa Timur. Lantas, bagaimana hukumnya bagi umat muslim mengonsumsi produk yang terjangkit penyakit ini, khususnya sebagai hewan kurban?
Perlu dipahami, PMK merupakan penyakit menular akut yang menyerang hewan kuku belah seperti sapi, kerbau, domba, kambing, rusa, babi dan lain-lain dengan tingkat penularan yang cukup tinggi 90-100% (Kementan, 2022).
Meskipun PMK bukan merupakan penyakit zoonosis atau tidak menular ke manusia, namun penyakit ini sangat mudah menular ke sesama hewan. Hal ini dapat menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang sangat besar, sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian dan penanggulangan.
Oleh karena itu, pemerintah sigap mengeluarkan surat keputusan terkait penanganan PMK. Surat keputusan tersebut berisikan penetapan wilayah yang terjangkit wabah seperti di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh dan Kabutapen Mojokerto, Gresik, Sidoarjo dan Lamongan di Provinsi Jawa Timur, serta pembentukan gugus tugas penanganan PMK.
- Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 405/KPTS/OT.050/M/05/2022 Gugus tugas (task force) penanganan PMK
- Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 403/KPTS/PK.300/M/05/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah PMK pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Timur
- Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 404/KPTS/PK.300/M/05/2022 Penetapan Daerah Wabah PMK di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh
- Surat Edaran Kepala Badan Karantin Pertanian Nomor 12950/KR.120/K/05/2022 Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Kejadian PMK
Mewabahnya PMK pada hewan ternak di berbagai wilayah Indonesia, mulai menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Apakah daging hewan yang terjangkit PMK ini thayyib atau baik dan halal untuk dikonsumsi?
Daging yang halal dikonsumsi adalah daging berasal dari hewan yang disembelih secara syariat islam. Pada prinsipnya status kehalalan daging yang berasal dari hewan terjangkit PMK berasal dari hasil pertimbangan, apakah daging tersebut mendatangkan kerugian (mudharat) atau tidak. Untuk menjawab hal ini, pendapat ahli seperti dokter hewan, ahli gizi, dan lainnya, diperlukan.
Menurut Kementerian Kesehatan, berdiskusi dengan World Health Organization (WHO), dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Kementerian Pertanian, serta pakar kesehatan veteriner, menyatakan daging hewan terjangkit PMK aman untuk di konsumsi sehari-hari.
Namun dengan catatan, daging tersebut harus matang dimasak hingga titik suhu mendidih. Karena, virus PMK akan mati pada suhu 70°C. Serta, melakukan pelayuan yakni menggantungkan daging untuk menurunkan PH daging agar tidak ada virus tersebar. Selain itu perlu untuk menghindari bagian yang terkena PMK secara langsung, seperti kaki, organ dalam atau jeroan, dan bagian mulut seperti bibir dan lidah.
Lalu, bagaimana hukum berkurban dengan hewan yang terkena PMK?
Berbeda dengan hewan sembelihan untuk konsumsi biasa, hewan kurban memiliki persyaratan yang lebih mengikat. Hewan kurban harus sehat secara fisik, cukup umur dan anggota tubuhnya tidak ada yang cacat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama sejumlah ahli dan kementerian terkait telah melakukan pendalaman dan menerbitkan fatwa Nomor 32 Tahun 2022 terkait hewan terinfeksi virus PMK sebagai hewan kurban (Jakarta, 31/05/2022).
Berdasarkan fatwa tersebut, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan, seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan kurban.
Sedang hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan, dan sangat kurus hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban.
Adapun jika hewan dengan gejala klinis berat sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang diperbolehkan kurban (10 sampai dengan 13 Zulhijah), maka hewan ternak tersebut sah dijadikan hewan kurban. Namun, apabila kesembuhannya melewati rentang waktu yang diperbolehkan kurban, maka hewan tersebut dianggap sedekah, dan bukan kurban.
Selain penyakit, salah satu hal yang bisa menyebabkan hewan ternak tidak sah sebagai hewan kurban adalah kecacatan fisik. Disisi lain, untuk mencegah PMK, maka dilakukan vaksinasi. Hewan yang telah divaksinasi akan dipasang ear tag sebagai tanda. Pemasangan ear tag berpotensi melubangi telinga hewan.
Bagaimana hukumnya?
Ketua Bidang Fatwa MUI menegaskan bahwa pelubangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan sudah divaksin atau sebagai identitasnya, tidak menghalangi keabsahan hewan kurban.
Penulis: Eva Afifah Tsurayya, Khairana Izzati
Redaktur Pelaksana: Ishmah Qurratu'ain