Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama telah merilis publikasi Statistik Indonesia 2021 yang salah satunya menyajikan kondisi sosial dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Adapun dalam publikasi tersebut, berbagai indikator yang disajikan menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia masih cenderung rendah. Namun di sisi lain, peningkatan jumlah penduduk miskin mengalami tren positif yang disebabkan pandemi Covid-19. Dalam publikasi lainnya, BPS merilis sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin per Maret 2021. Sedangkan tingkat ketimpangan di Indonesia tergolong masih cukup tinggi, yaitu sebesar 0,384.
Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan di daerah tentunya juga perlu mendapatkan perhatian serius. Jika kita melihat data ke level Kabupaten/Kota, angka kemiskinan pada level tersebut memiliki variasi yang cukup tinggi, sekalipun jika dibandingkan antar Kabupaten/Kota di provinsi yang sama. Sebagai contoh, berdasarkan publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota BPS tahun 2020, tingkat kemiskinan tertinggi level Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh terdapat pada Kabupaten Aceh Selatan mencapai 30,91%, sedangkan tingkat kemiskinan terendah terdapat pada Kota Banda Aceh 6,9%.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar dan paling dermawan di dunia, instrumen Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) memiliki potensi yang besar mendukung program Pemerintah Daerah dalam pengentasan kemiskinan. Potensi tersebut bisa optimal apabila kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) terbangun dengan solid.
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) telah secara intensif melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan dalam perumusan pengelolaan zakat berbasis wilayah. Para stakeholder mendukung pengelolaan zakat berbasis wilayah yang difokuskan dimulai dari level Desa/Kelurahan. Dalam hal ini pemerintah Kabupaten/Kota harus mendukung dan memiliki intensi lebih dalam implementasi pengelolaan zakat di daerah. Dalam model ini juga mendorong koordinasi sampai tingkat RT/RW dan masjid. Harapannya, zakat yang terkumpul bisa membantu dan disalurkan pada mustahik di lingkungan terdekat secara merata.
Secara sederhana, pengelolaan ZIS berasis wilayah adalah model pengelolaan zakat, infak, sedekah yang bersifat desentralisasi. Dana ZIS yang terkumpul diprioritaskan untuk disalurkan kepada mustahik di daerah tersebut. Selain itu, kelebihan implementasi model pengelolaan zakat berbasis wilayah di antaranya; 1) mudah mengenali donatur dan penerima manfaat karena berbasis pada kedekatan masyarakat, 2) respon pelayanan menjadi lebih cepat karena radiusnya dekat, 3) intensitas dan daya jangkau pelayanan menjadi lebih menyeluruh, 4) memudahkan pemantauan perkembangan penanganan mustahik/masyarakat penerima bantuan, dan 5) mudah untuk mendapatkan informasi daerah surplus-defisit zakat. Kebijakan transfer dana akan lebih mudah dilakukan, wilayah yang mengalami surplus dana zakat dapat menyalurkan kepada wilayah yang sedang mengalami defisit.
Dalam upaya proses implementasi model pengelolaan zakat berbasis wilayah ini, secara paralel diharapkan akan terbentuk kolaborasi kuat antara pemerintah daerah, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di wilayah tersebut. Selain aspek kebutuhan dana dan program pemberdayaan, penguatan kolaborasi juga tidak kalah penting adalah perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di level Desa/Kelurahan. Dengan begitu, basis data masyarakat miskin kedepannya bisa semakin valid.
Dari draft model pengelolaan zakat berbasis wilayah yang sudah disusun, KNEKS selanjutnya akan melakukan diseminasi dan diskusi dengan para stakeholder utama. Harapannya pertemuan ini akan menguatkan rekomendasi model pengelolaan zakat berbasis wilayah yang paling optimal sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal dalam mengurangi angka kemiskinan khususnya di level daerah.
Penulis: Amrial
Redaktur Pelaksana: Ishmah Qurratu'ain