Jakarta, KNEKS - Di balik kesulitan, pasti ada kemudahan. Kalimat itulah yang pantas digambarkan kondisi saat pandemi Covid-19 seperti ini.
Seperti yang diketahui bersama pandemi berdampak ke semua sektor kehidupan, termasuk industri halal. Tapi diyakini Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (HLC) Sapta Nirwandar bahwa dibali itu selalu ada hal positif yang bisa diambil, selalu ada hal baik yang terjadi, dan selalu ada yang bisa dikembangkan.
Sebelum Covid-19, masyarakat relatif lebih mudah untuk bertemu, makan dan berdiskusi. Namun, setelah Covid-19 masyarakat harus berupaya menyelamatkan diri sendiri dan orang lain dengan menerapkan physical distancing, hal ini menjadi ujian di seluruh dunia.
Terlebih di sektor pariwisata. Saat ini tidak bisa melakukan pariwisata dengan bebas. Bahkan umrah baru akan dibuka kembali di bulan ini (November 2020).
Namun, dibalik kesulitan yang dialami beberapa sektor, masih ada sektor yang hidup, diantaranya makanan, terutama domestik. Dengan adanya imunitas yang harus ditingkatkan tubuh saat pandemi, mau tidak mau orang akan memperbaiki gizi dan kesehatan. Hal tersebut menyebabkan produsen makanan halal meningkat.
Pelayanan juga menjadi semakin mudah dengan adanya ojek online. Industri rumahan juga meningkat. Transaksi dan jualan juga semakin beragam. Orang tinggal pesan di media sosial atau e-commerce juga bisa.
“Sekarang semuanya menggunakan teknologi. Di hotel dan pusat perbelanjaan harus touchless. Sektor pariwisata harus masuk ke situ jika ingin bertahan. Belum lagi kalau di bandara,” imbuh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2011-2014 ini.
Sektor lainnya yang juga berkembang adalah farmasi. Selain itu ada juga yang tidak meningkat tapi masih bisa hidup di tengah pandemi, seperti sektor fesyen.
Untuk mengembangkan industri halal saat ini dan ke depan agar lebih optimal, diperlukan ekosistem yang terintegrasi, atau bisa dibilang berjemaah.
Selain itu juga diperlukan pengembangan literasi bagi pengusaha dan masyarakat. Karena sampai saat ini masih banyak pengusaha yang belum berani terjun ke bidang usaha halal.
Contoh paling konkrit adalah sektor pariwisata. Hotel halal Indonesia saat ini masih kecil dan sedikit. Jika dibandingkan dengan Thailand yang bintang 3-5 ada lebih dari 20 hotel, Indonesia masih kalah.
Sementara literasi untuk masyarakat juga perlu dibangun. Persepsi masyarakat yang masih menganggap halal atau tidak halal sama saja harus diubah. Untuk itu dibutuhkan keberpihakan yang mendorong untuk mengonsumsi dan menggunakan barang halal. Food Court halal seperti di Singapura bisa dibuat di Indonesia untuk mendorong ini.
Lalu, peran media massa juga bisa mendorong industri halal juga. British Muslim TV bisa menjadi contoh. Di sana banyak menayangkan pembahasan dari segi ilmiah produk halal, tidak hanya menjelaskan halal dan haram saja.
“Jika media bisa dikembangkan dengan menggabungkan syariah dan keindahan, maka hal ini dapat menjadi potensi besar,” kata Sapta.
Sapta mengingatkan gaya hidup halal ini sangat baik diterapkan ketika pandemi, mengingat sifatnya bukan hanya kewajiban dalam Islam, tapi juga demi kesehatan. Diperintahkan Al-Quran dalam Al-Baqarah, halal termasuk tujuan hidup untuk beribadah.
Gaya hidup halal juga berharmonisasi dengan kondisi dewasa ini. Karena gaya hidup halal menyangkut keindahan atau estetika.
“Allah itu indah dan menyukai keindahan. Setelah digali, keindahan juga punya added value, nilai ekonomi, bisnis dan keahlian. Kata keindahan itu tidak sederhana. Contohnya perempuan memakai hijab, siapa yang buat (designer), bahannya, masuk ke pabriknya, cara memotong, dan lain-lainnya,” papar Sapta.
Gaya hidup halal dapat menjadi alternatif terbaik untuk peningkatan kualitas hidup seorang manusia, bukan hanya muslim, tapi juga non-muslim.
Terbukti, di Jepang sangat perhatian dengan produk halal dengan makanan halalnya. Di Korea Selatan bahkan ada buku petunjuk untuk makanan halal. Bahkan Negeri Ginseng ini ingin masuk pasar kosmetik halal dan fesyen. Lalu, Thailand yang muslimnya hanya 5 persen mampu mengekspor produk halal mencapai 25 persen.
“(Produk halal) berlaku universal, karena mengandung keamanan, kenyamanan dan kesehatan yang kuat. Sudah mulai terbukti saat Covid-19 dari pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO,” ungkap Sapta.
Dari sisi produsen produk halal, tidak ada aturan harus muslim, jadi non-muslim bisa memproduksi produk halal.
Seperti halnya Indofood, makanan halal Indonesia yang sudah mendunia. Lalu, Sushi Tei juga tidak diketahui siapa pemiliknya, namun karena telah melalui proses sertifikasi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) jadi aman untuk dikonsumsi.
Itulah kehebatan dari gaya hidup halal. Sepanjang prosesnya dapat dipertanggungjawabkan secara agama tidak menjadi persoalan. Karena itulah mengapa halal merupakan rahmatan lil alamin atau universal.
Penulis: Andika & Aldi
Redaktur Pelaksana: Ishmah Qurratu'ain