Jakarta, KNEKS - Salah satu indikator yang perlu untuk kita cermati dalam konteks transaksi yang ada dalam perbankan syariah adalah akad tawarruq atau di beberapa wilayah disebut komoditi murabahah. Tawarruq telah menfasilitasi berbagai macam transaksi perbankan syariah melalui perdagangan komuditas.
Direktur Eksekutif Manajemen Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Ventje Rahardjo mengatakan, pada masa pandemi ini, Indonesia memiliki instrumen terbatas dalam hedging dan manajemen likuiditas syariah.
“Perdagangan komoditas dan tawarruq mungkin memiliki potensi untuk mengatasi masalah tersebut. Dilain sisi tawarruq juga dapat digunakan dalam meningkatkan masa depan produk keuangan yang ada,” ujar Ventje dalam Webinar Internasional dengan tema Exploring Innovation in Islamic Bank; Pro & Cons of Tawaruq Other Possible Alternatives, Rabu (9/9)
Banyak juga yang berpendapat bahwa persoalan utama tawarruq adalah tujuan dari kontrak itu sendiri yang niatnya mungkin saja tidak diperlakukan bagi komoditas, tetapi untuk menciptakan hutang melalui transaksi perdagangan, sehingga mungkin tidak ada hubungan yang nyata antara sektor rill dan sektor keuangan dalam transaksinya. Dan ini bertentangan dengan prinsip keuangan Islam.
Ventje melanjutkan, Perspektif ini merugikan tidak hanya bagi bank syariah yang mengimplementasikan tawarruq, namun lebih dari itu adalah semua sektor dalam industri keuangan.
“Dan pada akhirnya industri perbankan syariah ini harus tetap eksis dan tumbuh serta memperkuat kapasitasnya dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Maka dari itu salah satu langkah yang harus dilakukan adalah terus mengeksplorasi setiap aspek tawarruq dari perspektif regulator, akademisi, ulama dan praktisi perbankan syariah untuk nantinya menemukan formulasi yang tepat dan produktif,” lanjut Ventje sebagai pengantar pada acara webinar tersebut.
Tawarruq secara sederhana adalah semacam mekanisme membeli aset dari pihak ketiga misalnya dengan tempat yang berbeda dan menjualnya ke pihak lain dengan harga lebih murah.
CEO Indonesia Deposit Insurance Corporation Lana Soelkistyaningsih menjelaskan tawarruq secara sederhana adalah semacam mekanisme membeli aset dari pihak ketiga misalnya dengan tempat yang berbeda dan menjualnya ke pihak lain dengan harga lebih murah.
Beberapa manfaat tawarruq adalah pertama cara perolehan yang fleksibel sehingga likuiditas pelanggan segera memperoleh uang tunai, kedua tawaruq mudah untuk dieksekusi dan juga dapat digunakan untuk pembiayaan multiguna, namun penerapan tawarruq bukannya tanpa modal.
“Inovasi biasanya selalu disertai dengan beberapa pro dan kontra, oleh karena itu harus di uji dan dievaluasi kembali secara menyeluruh,” jelas Lana.
Anggota Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) Sohaib Umar menjelaskan tawarruq dari sudut pandang hukum syariah tidak diragukan lagi dan empat mazhab juga sudah mengizinkan transaksinya.
“Sesuatu hal yang diperbolehkan memerlukan kehati-hatian, artinya sesuatu mungkin diperbolehkan tetapi dari perspektif masyarakat atau perspektif ekonomi itu mungkin bukan yang terbaik,” jelasnya.
Terdapat beberapa efek negatif dari tawarruq yang dapat menjadi wawasan bagi kita, “yaitu diantaranya terputusnya antara ekonomi rill dan keuangan ekonomi, resiko besar yang berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi, akumulasi hutang di luar batas terhadap pertumbuhan ekonomi, mencegah inovasi produk asli dan potensi penyalahgunaan yang tinggi,” jelasnya.
Sementara itu Kepala CIMB Islamic Malaysia Ashraf Gomma Ali menyampaikan inovasi perbankan seharusnya berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, termasuk transaksi tawarruq.
“Dengan itu adanya inovasi dalam perbankan syariah sudah seharusnya memberikan efek kesejahteraan dan juga yang terutama adalah efek keimanan, ketakwaan kepada Tuhan semakin baik,” ujar Ashraf.
Penulis: Aldi, Andika, Annisa
Redaktur Pelaksana: Iqbal