Jakarta, KNEKS - Apa yang membedakan produk halal dengan non-halal? Apa yang menjadi tanda produk yang halal dan tidak halal? Apa yang diperiksa dari produk halal dan non-halal? Ketiga jawaban itu bisa dijawab hanya dengan satu jawaban, yakni sertifikasi halal. Begitulah peran dari sertifikasi halal ini.
Sebagai muslim, mengonsumsi produk yang halal adalah kewajiban. Untuk itu jaminan kehalalan suatu produk diperlukan. Jaminan itu bisa didapatkan dengan adanya sertifikasi halal.
Berdasarkan data Global Religius Future, penduduk muslim Indonesia pada 2010 mencapai 209,12 juta jiwa atau sekitar 87 persen dari total populasi. Kemudian pada 2020, penduduk muslim Indonesia diperkirakan akan mencapai 229,62 juta jiwa. Lalu, total ada sekitar 1,9 miliar muslim di dunia, yang mana menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen.
Maka tidak heran beberapa tahun belakangan pemerintah sangat menaruh perhatian akan sertifikasi halal. Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat muslim Indonesia, disamping itu juga untuk memenuhi kebutuhan muslim di dunia. Jumlah muslim di dunia yang begitu besar dinilai bisa menjadi pasar yang akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dan sertifikasi halal menjadi jembatan untuk mendapatkan pasar itu.
Pemerintah melakukan gerakan massal untuk mendorong sertifikasi halal. Bentuk keseriusan ini terlihat diantaranya dari diterbitkannya Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), pembentukan Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH), begitu juga dengan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang menaruh perhatian terhadap sertifikasi halal.
Selain itu, pemerintah juga berupaya mempercepat fasilitasi sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Percepatan fasilitasi ini ditandai dengan penandatanganan nota kerja sama 10 pimpinan Kementerian dan Lembaga (K/L) pada 13 Agustus 2020.
10 K/L itu adalah Kementerian Agama, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Dalam Negeri, Badan Amil Zakat Nasional, Badan Wakaf Indonesia, dan KNEKS.
Terkait kerja sama 10 K/L ini, Direktur Industri Produk Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Afdhal Aliasar menjelaskan, latarbelakang kerja sama ini untuk membantu BPJPH mempercepat sertifikasi halal untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya sektor UMK.
Masing-masing K/L ini memiliki perannya masing-masing dalam mendorong sertifikasi halal, seperti Kementerian Dalam Negeri yang menyangkut pemerintah daerah (Pemda). Pemda bisa membantu sertifikasi halal, salah satunya dengan memanfaatkan Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD). Pemda-Pemda ini akan turun untuk membantu terlaksananya sertifikasi halal.
“Ini baru MoU (Memorandum of Understanding), KNEKS akan dorong lagi lebih kuat supaya tidak berhenti sampai di MoU, serta implementasi yang terlaksana di lapangan,” ujar Afdhal.
Pemerintah juga mendorong percepatan proses sertifikasi halal. Sebelumnya, sertifikasi halal memakan waktu hingga 93 hari, diharapkan dapat dipercepat menjadi 21 hari. Hal itu diungkapkan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi pada saat penandatanganan.
Selain itu, Menteri Agama menekankan percepatan sertifikasi halal untuk produk UMK menjadi komitmen pemerintah. Bahkan, ia mengungkapkan Presiden Joko Widodo juga memberi penekanan agar UMK tidak dibebani biaya alias Rp 0.
"Untuk UMK, kami sepakati di kabinet bahwa pengurusan sertifikat halal itu gratis atau tanpa biaya. Kami sepakat bahwa kriteria UMK adalah usaha dengan omzet di bawah Rp1 miliar," tegasnya.
Afdhal menjelaskan, perihal percepatan waktu 21 hari itu sedang dibahas DPR, karena masuk ke dalam Omnibus Law. Dalam Omnibus Law dijelaskan Kementerian Agama mengusulkan proses sertifikasi halal bisa 21 hari.
Sementara untuk UMK dibebaskan biaya sertifikasi halal, Afdhal mengungkapkan pertimbangannya adalah keterbatasan biaya UMK. Sementara untuk usaha kelas menengah dinilai sudah mampu, tidak ada masalah terkait biaya.
Jajaran pemerintah sepaham tidak ingin membebani para UMK dengan biaya terkait dengan adanya kebijakan sertifikasi halal. Namun yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama adalah pelaksanaannya.
“Operasionalnya di lapangan seperti apa? KNEKS dalam hal ini mengajukan beberapa usulan berkenaan strategi membantu kementerian dan lembaga ini untuk mengeksekusi di lapangannya seperti apa. Salah satunya mengusulkan dengan adanya strategi tahapan pembinaan untuk sertifikasi halal,” ungkap Afdhal.
Nantinya, hal pertama yang UMK ini lakukan adalah mendaftar melalui pembina-pembina, yakni para organisasi-organisasi usaha yang membina UMKM.
Kemudian, para pembina ini diharapkan mendaftarkan para binaannya ke dalam program bersama yang disebut program Tahapan untuk Sertifikasi Halal. Setelah itu, para UMK ini akan dibina dan dilihat kemampuannya, apakah mereka sudah layak memiliki standar sertifikasi halal. Bagi yang sudah bisa memenuhi standar yang ditetapkan, baru kemudian diajukan untuk sertifikasi halal.
Berbagai tahapan itu dilakukan demi kebaikan UMK itu sendiri, karena produk halal berkaitan dengan berbagai standar, dari kebersihan, proses, material, distribusi, kemasan dan standar lainnya. Untuk memenuhi standar tersebut, UMK akan dibantu para pendampingnya.
Bagi UMK yang sudah lolos standar itulah yang biayanya tidak dibebankan kepada mereka. Bisa pemerintah yang akan menanggung biayanya atau bisa komponen-komponen lain untuk berkontribusi. Misalnya, dengan dana Tanggung jawab Sosial Perusahaan, bantuan dari internasional, lembaga zakat, lembaga wakaf, universitas, atau Pemda untuk membantu UMK mencapai standar halal dan memiliki taraf hidup yang lebih baik.
Disamping itu, sejak 17 Oktober 2019 hingga 12 Agustus 2020, Kepala BPJPH Sukoso menyampaikan dalam laporan BPJH total ada 7.163 pendaftar sertifikasi halal. “Jumlah itu terdiri atas 5.085 pendaftar pelaku UMK, 1.198 pelaku usaha menengah, dan 880 pendaftar usaha besar,” ujar Sukoso.
Kemudian, pemerintah juga mendorong keterlibatan ormas Islam dalam sertifikasi halal. Ormas Islam dilibatkan ke dalam proses sertifikasi melalui komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Afdhal mengungkapkan, berdasarkan arahan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang disampaikan ke Menteri Agama, proses sertifikasi fatwa halal tetap hanya satu lembaga, yaitu komisi fatwa MUI. Sertifikasi halal hanya dikeluarkan melalui MUI, sementara ormas Islam lain akan di akomodir keterlibatannya di dalam MUI.
“Jadi, bukan ormas-ormas tadi mengeluarkan fatwa sertifikasi, keterlibatan mereka dalam proses sertifikasi. Kita menjaga halal assurance system yang ada di Indonesia tetap menjadi kuat, tidak terpecah-pecah, tapi tetap mengakomodir keinginan-keinginan dari ormas Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Jalurnya disiapkan oleh MUI,” imbuh Afdhal.
Pandemi Covid-19 menjadi tantangan dalam berjalannya proses sertifikasi halal. Terlebih di awal masa pandemi disinyalir memperlambat sertifikasi halal. Banyaknya perusahaan yang menerapkan kebijakan bekerja dari rumah membatasi ruang gerak proses sertifikasi halal. Tapi saat ini, menurut Afdhal perusahaan sudah berangsur berjalan normal kembali.
Selain itu, sudah banyak proses sertifikasi halal dilakukan secara daring. Audit sertifikasi halal bisa dilakukan secara daring, melalui fasilitas zoom, video call, ataupun online meeting, dengan demikian, auditornya tidak harus datang ke lokasi. Harapannya, ke depan ini menjadi kebiasaan baru yang memang baik untuk tetap diteruskan.
Pemerintah juga akan terus melakukan beragam upaya untuk mendorong sertifikasi halal. Selain untuk memenuhi kebutuhan muslim dalam negeri, sertifikasi halal juga menjadi pintu yang bisa membuat Indonesia menjadi pemain utama industri halal.
Penulis: Aldi, Andika, Ira, Zuma
Redaktur Pelaksana: Iqbal