Jakarta, KNEKS - Kebijakan fiskal tentu dapat memengaruhi laju dari industri keuangan. Tidak heran, kebijakan ini sangat disoroti industri keuangan, termasuk perbankan syariah di dalamnya.
Ketua Divisi Pengembangan Infrastruktur Sistem Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Luqyan Tamanni mengatakan KNEKS telah melakukan kajian terkait kebijakan fiskal.
Dari sisi kebijakan perpajakan ini, KNEKS melihat sudah ada perlakuan yang sama atau equal treatment dari regulator perpajakan terhadap perbankan syariah dan perbankan konvensional.
Meski begitu, perlakuan yang sama ini bukan tanpa catatan. Masih adanya peraturan yang belum jelas terkait kebijakan fiskal ditemukan di perbankan syariah. Akibatnya menimbulkan penafsiran diberbagai kalangan, seperti yang terjadi dalam Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait transaksi sewa dengan akad ijarah atau Al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik (IMBT).
Dalam kasus ijarah ini, masih ada KPP yang menggunakan pajak ganda terhadap transaksi tersebut. Hal itu muncul lantaran putusan persoalan peraturan pajak atas pengalihan kepemilikan aset dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.03 tahun 2011 yang hanya menyebutkan bahwa transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi prinsip syariah dianggap sebagai pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada nasabah, sementara bentuk/akad transaksinya tidak disebutkan secara eksplisit.
Karena tidak disebut secara eksplisit dalam aturan, ada yang menafsirkan pajak atas pengalihan kepemilikan aset tersebut masih dikenakan sebanyak dua kali. Pertama, ketika bank mengakuisisi aset. Kedua, ketika perpindahan kepemilikan dari bank kepada nasabah di akhir periode sewa/ijarah. Seharusnya, pengalihan kepemilikan pada akad IMBT juga dianggap sebagai pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada nasabah sehingga pengenaan pajaknya hanya satu kali.
“Perlu kepastian, bahwa setiap KPP yang memeriksa transaksi perbankan syariah akan menafsirkan peraturan yang ada secara seragam. Jadi, tidak ada lagi KPP yang mengenakan pajak, sementara yang lainnya sudah menganulir,” ungkap Luqyan.
Selain itu, dalam kajian yang dilakukan KNEKS terkait kebijakan fiskal adalah perihal skema insentif. Industri perbankan syariah berharap dan sudah mengusulkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan untuk melihat potensi perbankan syariah dan meminta insentif yang bisa diberikan pemerintah.
Luqyan menyatakan, dari skema insentif, memang berakibat kepada pendapatan negara yang hilang. Misalnya berupa pemotongan nilai pajak dari 20 persen, dipotong menjadi 15 persen atau tidak dipungut pajak penghasilan selama lima tahun.
“Pendapatan yang hilang dalam periode insentif ini akan balik sebenarnya. Baliknya akan lebih besar dari multiplier effect yang dihasilkan dari penggunaan dana yang diperoleh bank untuk survive atau untuk memberikan pembiayaan kepada industri sektor riil yang sedang sangat membutuhkan. Jadi, konteksnya adalah insentif pemulihan ekonomi dan lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan yang mempunyai peran besar dalam pemulihan ekonomi nasional,” papar Luqyan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Herbudhi S. Tomo menambahkan kebijakan fiskal bisa meningkatkan literasi dan inklusi bank syariah.
Saat ini, perlakuan pemerintah perihal kebijakan fiskal di bank konvensional dan bank syariah sama. Padahal, jika pemerintah membedakan perlakuan ini, bisa meningkatkan literasi dan inklusi bank syariah, terlebih playing field antara bank konvensional dan bank syariah yang sebenarnya berbeda.
Dia menerangkan, dalam prinsipnya bank konvensional menggunakan bunga, deposito kredit. Bila berbicara bunga deposito, maka bunga deposito dikenakan final 20 persen.
“Kalau kita ingin mempercepat literasi dan inklusi keuangan syariah, maka diharapkan kita minta kepada pemerintah melalui Omnibus Law itu. Tolong cost of fund kita, uang Dana Pihak Ketiga (DPK) itu diperlakukan lebih berbeda dari bank konvensional, karena sistem bank syariah ini bagi hasil,” tutur Tomo.
Tomo menjelaskan, prinsip dari bagi hasil itu berinvestasi, bukan menyimpan uang. Seyogyanya karena berinvestasi, disarankan transaksi penabung yang menyimpan di bank syariah ini seperti halnya berinvestasi di reksadana yang pajaknya hanya 5 persen.
Sehingga bank syariah mendapatkan cost of fund murah, dengan cara menurunkan beban pajak yang diterima oleh apa yang dikenakan pemerintah kepada pemegang uang atau pemegang deposito bagi hasil di bank syariah.
Bila pajaknya murah atau tidak sebesar bank konvensional, maka cost of fund pembiayaan bank syariah menjadi lebih kompetitif. Misalnya, bunga deposito yang dikenakan bank itu 20 persen kepada pemegang deposito di bank konvensional, sedangkan di bank syariah hanya terkena 5 persen. Hal itu akan membantu memperbesar pasar bank syariah lebih cepat.
“Sekarang Anda mau memindahkan uangnya dari bank konvensional ke bank syariah, apa yang menarik dari bank syariah? Oh, di bank syariah pajaknya murah cuma 5 persen, kalau di bank konvensional 20 persen final, akhirnya pindah. Kalau sudah pindah kan murah cost of fund-nya. Semakin banyak yang gabung, cost of fund-nya murah. Cost of fund murah, dilempar ke sektor pembiayaan, sektor usaha jadi lebih murah. Ia bisa bersaing dengan bunga kredit,” ungkap Tomo.
Tomo menyarankan stimulus ini bisa diberlakukan selama lima tahun. Setelah selesai, aturan itu bisa dikembalikan lagi supaya bisa berkembang. Tomo melanjutkan kebijakan fiskal juga berpengaruh terhadap kebijakan spin off. Menurutnya, agar spin off lebih baik, pajak spin off dibebaskan selama lima tahun.
“Begitu spin off itu pasti memisahkan dari pada induk, berarti dia harus punya lebih banyak orang lagi di sana. Padahal bisnisnya belum besar. Ya, pajak spin off mungkin dibebaskan selama lima tahun supaya cepat-cepat bisa break event point,” harap Tomo.
Lebih lanjut, terkait kondisi pertumbuhan bank syariah, Luqyan mengungkapkan pada periode terakhir, bank syariah mengalami dampak yang cukup signifikan dan beragam dari peristiwa pandemi Covid-19.
Dampak pandemi akan signifikan, terutama di quartal II 2020. Diprediksi bank syariah yang memiliki modal terbatas, terutama bank kecil yang jaringannya masih sangat terbatas akan mengalami masalah yang lebih besar dibandingkan yg ada di BUKU II dan III. Meskipun OJK sudah mengeluarkan dua Peraturan OJK terkait dengan restrukturisasi dan sinergi.
“Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa diselesaikan dengan aturan regulasi. Tapi diperlukan keberpihakan dan suntikan, baik itu pemberian peluang usaha yang lebih luas atau suntikan modal pemegang saham,” tutup Luqyan.
Penulis: Andika, Aldi & Lutvia
Redaktur Pelaksana: Achmad Iqbal