Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada Rabu (30/4/25) melakukan Focus Group Discussion (FGD) Penajaman Draft Rancangan Revisi UU Wakaf yang dilaksanakan di Ruang Mezzanine II Kementerian Keuangan. Diskusi bertujuan untuk memperoleh masukan para ahli, ormas dan stakeholder utama atas Rancangan Revisi UU Wakaf mengingat perkembangan wakaf cukup progresif dan signifikan. Inovasi pengelolaan maupun pemanfaatan wakaf di sektor keuangan syariah, industri halal serta bisnis syariah terus berkembang pesat.
Perkembangan fundamental lain adalah telah dicantumkannya pengembangan wakaf sebagai bagian dari keuangan sosial syariah dalam dokumen RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029 sebagai bagian transformasi ekonomi nasional. Perkembangan ini memunculkan kebutuhan akomodasi norma-norma tata kelola dan kelembagaan yang lebih detail dan komprehensif dari draft RUU Wakaf yang telah ada. Dwi Irianti Hadiningdyah selaku Direktur Keuangan Sosial Syariah KNEKS dalam pengantar diskusi menekankan bahwa perubahan UU Wakaf saat ini sangat dibutuhkan untuk memperkuat tata kelola wakaf nasional dimana UU Wakaf saat ini sudah berusia 21 tahun sejak diundangkan menjadi UU No.41 Tahun 2004.
Hadir sebagai narasumber, Dr. Amirsyah Tambunan selaku Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW) PP Muhammadiyah menekankan tiga aspek penting dalam perubahan UU Wakaf. Pertama, aspek regulasi di dalam UU Wakaf, dimana nazhir belum memiliki fungsi dan peran yang kuat. Kedua, tata kelola yang masih lemah mengakibatkan banyak tanah wakaf yang terlantar. Ketiga, skema pembiayaan yang terbatas sehingga lebih bersifat keuangan sosial dalam bentuk 4 M (makam, madrasah, masjid dan mushalla), belum bersifat produktif secara ekonomi karena peran nazhir belum memiliki kewenangan dalam menginvestasikan aset wakaf. Buya Amirsyah memandang pentingnya dorongan kuat kepada Presiden untuk memberikan perhatian terhadap revisi UU Wakaf yang dinilai belum memberikan kewenangan memadai kepada nazhir. Sebagai contoh, lembaga besar seperti Muhammadiyah memiliki banyak aset tanah wakaf, namun belum dapat dimanfaatkan secara produktif karena keterbatasan legal dan struktural. Oleh karena itu, penguatan aspek tata kelola dan pembiayaan menjadi sangat penting.
Narasumber selanjutnya, Prof. Nurul Huda mewakili Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) menambahkan bahwa draf RUU Wakaf telah stagnan selama delapan tahun dan belum mengakomodasi perkembangan regulasi keuangan terbaru seperti UU P2SK dan Roadmap Wakaf Nasional 2024-2029. Pada diskusi ini, beliau mengusulkan pembentukan konsep nazhir pemerintah yang terstruktur, memperjelas masa berlaku nazhir, mengusulkan peningkatan hak nazhir, serta memperkuat peran dan anggaran Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dari segi harta benda wakaf, perlunya memperjelas regulasi terkait wakaf saham serta wakaf melalui uang. Pada aspek kelembagaan, disarankan optimalisasi asuransi syariah sebagai penjamin risiko.
Prof. Raditya Sukmana, Guru Besar UNAIR sebagai narasumber ketiga menyarankan pemisahan fungsi dimana Kementerian Agama sebagai regulator, sementara BWI bertindak sebagai operator (nazhir) sebagaimana MUIS dan WAREES Singapura. Selain itu beliau menekankan pentingnya untuk meredefinsi wakaf produktif, merevisi jenis nazhir, memperkuat BWI sebagai nazhir nasional, termasuk SDM BWI, serta mendorong Kemenag memiliki kompetensi governance di bidang ekonomi dan keuangan syariah sesuai WCP- 4 terkait Licensing Criteria. Prof Raditya juga menyoroti potensi inovasi dengan analisis kesesuaian fatwa, seperti mekanisme istibdal, yakni penggabungan lahan kecil menjadi kawasan ekonomi halal yang dapat dibangun melalui sukuk pemerintah.
Dr. Hendri Tanjung dari Universitas Ibn Khaldun menggarisbawahi dualisme fungsi BWI sehingga perlunya pemisahan peran Kementerian Agama sebagai regulator dan BWI sebagai nazhir nasional. Fungsi-fungsi utama pengelolaan wakaf (pengumpulan, investasi, pengelolaan, dan penyaluran) perlu disupervisi oleh otoritas tersendiri, bukan oleh BWI. Beliau juga mengusulkan agar lisensi dan pengawasan diberikan oleh otoritas terpisah, dan BWI cukup sebagai pelaksana profesional. Dalam konteks manajemen risiko, perlu adanya panduan khusus untuk memastikan kehati-hatian dalam pengelolaan aset wakaf yang beragam.
Dari Departemen Ekonomi Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia diwakili Rifki Ismal, Ph,D menegaskan bahwa keterlibatan dan posisi BI dalam RUU Wakaf ini adalah mendukung penguatan koordinasi serta peran Kementerian Agama dan BWI. Yono Haryono, Ph.D dari DEKS BI menambahkan bahwa wakaf perlu diposisikan sebagai instrumen pembangunan jangka panjang. Diperlukan empat program strategis untuk mendorong hal tersebut, yaitu berupa penguatan regulasi dan supervisi di bawah Kemenag, fungsi koordinasi lintas nasional dan internasional oleh BWI, penyelarasan program strategis nasional dalam RPJMN yang diampu bersama-sama oleh Kemenag dan BWI, serta penguatan kelembagaan BWI sebagai nazhir nasional.
Hadir dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) diwakil Dr. Tatang Astarudin selaku Wakil Ketua BWI mengangkat isu kelembagaan nazhir negara, integrasi data wakaf, serta tantangan dalam penentuan PPAIW. Beliau juga menyoroti potensi kolaborasi antar nazhir besar dan kecil dalam pengembangan aset produktif. Namun, perlu ada keseimbangan agar negara tidak mendominasi ekosistem wakaf. Di sisi lain, data geospasial wakaf dan koordinasi dengan BPN menjadi sangat penting untuk menentukan kebijakan seperti istibdal, yang membutuhkan dasar regulasi yang kuat.
Prof. Waryono selaku Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama menyayangkan bahwa RUU Wakaf belum masuk Prolegnas. Di sisi lain, aset wakaf seperti tanah yang ditempati KUA memiliki potensi dan kontribusi ekonomi yang besar. Beliau juga menyoroti pentingnya pemetaan pendekatan fiqih kontemporer dalam pengaturan wakaf serta pengacuan Wakaf Core Principle (WCP) yang digagas Bank Indonesia menjadi standar dalam perumusan revisi UU wakaf. Beliau juga menekankan perlunya pembagian tugas yang jelas antara negara sebagai otoritas dan BWI sebagai pelaksana termasuk mengatur lebih spesifik terkait BWI daerah, SDM dan operasionalnya. Mengingat UU Wakaf akan lebih bersifat umum, maka diperlukan PP untuk memperjelasnya dan Kementerian Agama siap mengeluarkan PMA untuk mengakomodir hal tesebut.
Akhirnya, Pak Gandy selaku Direktur Pemantauan Program Sekretariat KNEKS mendorong Kementerian Agama untuk menjadi inisiator utama dalam reformasi regulasi wakaf, serta mendorong sinergi antara Kementerian Keuangan dalam skema blended financing antara sosial dan komersial pada pengembangan wakaf.
Penulis : Alvina Syafira Fauziah
Redaktur pelaksana : Lidya Dewi N