Jakarta, KNEKS - Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) bekerja sama dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAE) menyelenggarakan webinar “Peluang dan Tantangan RUU Perkoperasian bagi Koperasi Syariah” pada hari Kamis (13/4) melalui platform daring.
Acara ini diawali dengan sambutan oleh Ahmad Juwaini selaku Direktur Keuangan Sosial Syariah KNEKS sekaligus Ketua Bidang Pengembangan Keuangan Mikro Syariah IAEI dan Bagus Aryo selaku Deputi Direktur Lembaga Keuangan Mikro Syariah KNEKS. Sedangkan yang tampil sebagai pembicara adalah Suwandi selaku Tim Ahli Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian dan Kartiko Adi Wibowo dari Forum Koperasi Indonesia (FORKOPI).
Dalam sambutannya Ahmad menyampaikan bahwa koperasi adalah salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia yang karenanya harus ditata dan diperkuat.Keberadaan RUU Perkoperasian diperlukan untuk melakukan perbaikan Undang-Undang (UU) nomor 25 1999 tentang Perkoperasian. Selain karena UU tersebut sudah lama, secara substansi juga harus diperbaiki, misalnya pada UU tersebut belum terkait Koperasi Syariah.
Ahmad menambahkan bahwa ada harapan bahwa RUU Perkoperasi tidak sekedar mengatur koperasi secara entitas saja, namun juga mengatur ekosistem pendukung koperasi lainnya seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) koperasi, lembaga pendukung pendanaan untuk koperasi, dan lain-lain.
Ahmad mengapresiasi RUU perkoperasian yang mengadopsi best practises koperasi-koperasi sukses dari belahan dunia lain, misalnya dengan mengenalkan tata kelola jenjang tunggal. Selama ini di Indonesia yang lazim dilaksanakan adalah tata Kelola jenjang dua.
Salah satu yg perlu dikembangkan oleh industri koperasi adalah continuous improvement. “Saat ini kita perlu selalu belajar, karena harus diakui kinerja koperasi di indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan koperasi di luar negeri. Jika berharap koperasi bisa masuk ke papan atas dunia, maka kita harus terus belajar dari best practice koperasi-koperasi sukses di seluruh dunia agar dapat bersaing dalam lingkup global.” Kata Ahmad.
Berikutnya Bagus Aryo menyampaikan bahwa per Desember 2022 terdapat 3.912 koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS) beranggotakan 4,6 juta orang dengan total asset Rp20,67 T. Diharapkan RUU Perkoperasian mampu menjawab permasalahan koperasi baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Bagus menambahkan bahwa ekosistem koperasi juga harus diperhatian di RUU Perkoperasian, seperti LPS, APEX, Biro Kredit, Sistem Pengawasan, Penjamin Pembiayaan, dan lain-lain.
Bagus menyampaikan bahwa KNEKS bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bank Indonesia sedang mendorong Transformasi Ekonomi Syariah yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Transformasi tersebut dilakukan dengan strategi memperkuat pondasi, mengakselerasi transformasi globalisasi Indonesia sebagai Poros Ekonomi Syariah Dunia. Berkenaan dengan hal tersebut ada beberapa hal perlu didukung yakni terkait potensi UMKM, wisatawan muslim, pangsa pasar keuangan syariah, dan koperasi syariah.
Suwandi selaku pemateri pertama menyampaikan bahwa ada beberapa peluang pada RUU Perkoperasian bagi koperasi syariah. Pertama, tekait pengembangan sektor rill oleh koperasi syariah, karena dalam RUU Perkoperasian koperasi tidak lagi dikelompokkan berdasarkan jenis koperasi seperti pada UU nomor 25 tahun 1992 (produksi, konsumen, pemasaran dan jasa), namun didasarkan atas pilihan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
Peluang lain adalah bahwa RUU ini mendukung keberadaan dewan pengawas syariah (DPS), salah kelengkapan organisasi yang menjadi ciri khas koperasi syariah. RUU ini mendukung pendanaan bagi koperasi yang lebih luwes dan luas, mencakup ekuitas, utang dan dana kemitraan. Dana kemitraan dikembangkan untuk pengembangkan usaha sector riil.
Namun Suwandi juga menyampaikan bahwa dengan RUU Perkoperasian ini ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh koperasi syariah. Bila telah disahkan menjadi UU, maka seluruh koperasi, termasuk koperasi syariah harus melakukan perubahan anggaran dasar, serta menyesuaikan nomenklatur dan struktur permodalan koperasi.
Tantangan lain, koperasi harus melakukan perbaikan tata kelola, SDM dan pengawasan. Selain itu, koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS) hanya boleh melayani anggota dan koperasi lain.
Kartiko selaku pembicara kedua menyampaikan bahwa rekognisi koperasi syariah pada RUU Perkoperasian lebih banyak dibandingkan dengan UU telah ada sebelumnya, baik UU Nomor 25 tahun 1995 ataupun UU Ciptaker. Harapannya bila RUU ini disahkan menjadi UU, maka koperasi syariah akan menjadi lebih baik lagi, karena RUU ini mewajibkan anggaran dasar koperasi syariah mencantumkan tentang DPS pada anggaran dasarnya. Pada RUU Perkoperasian, Rapat Anggota memiliki kewenangan tambahan untuk mengangkat DPS (menaikan level DPS sejajar dengan level pengurus dan Pengawas). Selain itu, direcognisi juga fungsi baitul maal pada koperasi.
Seperti halnya pembicara pertama, Kartiko juga memaparkan beberapa tantangan bagi koperasi syariah. Tantangan tersebut diantaranya adalah konsep APEX yang perlu diperjelas, adanya ancaman sanksi pidana, perpajakan dan standarisasi kompetensi pengurus, pengawas dan DPS.
Penulis: Iwan Rudi Saktiawan
Redaktur Pelaksana: Ishmah Qurratu'ain