Jakarta, KNEKS - Dalam upaya mencegah penularan Covid-19, pemerintah bersama-sama masyarakat melakukan beberapa perubahan dalam berinteraksi dengan melakukan protokol kesehatan, termasuk diantaranya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dengan terbatasnya aktivitas, otomatis kegiatan perekonomian menjadi sangat terbatas sehingga mengakibatkan penurunan konsumsi dan investasi. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) per 5 Agustus 2020, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berkontraksi sebesar 5,32 persen pada triwulan II 2020.
Hampir semua lapangan usaha mengalami kemerosotan, dengan transportasi dan pergudangan berkontraksi sebesar 29,22 persen diikuti oleh akomodasi, serta makanan dan minuman sebesar 22,31 persen. Akan tetapi ada juga lapangan usaha yang masih terus tumbuh, seperti infokom 3,44 persen dan pertanian 16,24 persen.
Sementara itu, industri perbankan syariah juga tidak luput terkena dampak dari Covid-19 ini. Direktur Unit Usaha Syariah Bank Permata (Permata Syariah), Herwin Bustaman, mengatakan kondisi keuangan industri perbankan syariah per Juni 2020 ini memang mengalami kontraksi sebesar 3,46 persen dari segi laba dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Akan tetapi, pencapaian itu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan industri perbankan nasional yang mengalami kontraksi laba sebesar 20,72 persen. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh banyaknya konversi lembaga keuangan konvensional di Aceh yang diwajibkan untuk sejalan dengan prinsip syariah berdasarkan Qanun No. 11/ 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah.
Dari segi pembiayaan, menurut Herwin, meski saat ini pembiayaan syariah sudah sangat terdiversifikasi, namun perlu diingat, dengan adanya persyaratan khusus untuk memberikan pembiayaan kepada perhotelan dan terbatasnya expertise analisa pembiayaan untuk industri-industri yang kompleks seperti penerbangan, kemungkinan besar Bank Umum Syariah memiliki exposure yang rendah terhadap kedua jenis usaha tersebut.
Lebih lanjut, ia memprediksi, meski di Semester I perbankan syariah mengalami kontraksi, tetapi semester dua akan lain cerita. Dengan masih adanya beberapa bank konvensional di Aceh yang sedang mengonversi portofolionya menjadi syariah dan juga konversi dua Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang diharapkan dapat dilakukan tahun ini, ia menilai bank syariah di Semeter II ini akan jauh lebih baik. Dua BPD yang dimaksud itu antara lain BPD Riau dan BPD Nagari.
“Saya sangat berharap market share perbankan syariah bisa tembus ke 6,5 persen di akhir tahun 2020 dari per Juni yang hanya 6,1 persen,” jelasnya menegaskan.
Di Permata Syariah sendiri, untuk kinerja di Semester I 2020, dari laba tumbuh 51,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Herwin mengungkapkan dengan tantangan yang semakin berat dalam memberikan pembiayaan, Permata Syariah fokus untuk meningkatkan pendapatan melalui penjualan produk fee-based income.
Sementara di semester II ini, Permata Syariah akan terus melanjutkan strategi yang telah dijalankan sejak diterapkannya PSBB, yaitu memberikan relaksasi kepada nasabah-nasabah yang terkena dampak Covid-19 sesuai dengan arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Secara selektif memberikan pembiayaan kepada top tier clients, memacu lagi pendapatan dengan menawarkan produk-produk fee-based income, serta tak kalah pentingnya, menggalakkan penggunaan PermataMobile X untuk pembayaran melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard),” kata Herwin.
Sementara itu, Kepala Divisi Inovasi Produk Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah KNEKS Yosita Nur Wirdayanti menjelaskan, OJK memprediksi pertumbuhan kredit perbankan di 2020 ini berkisar 3 persen hingga 4 persen. Angka ini diprediksi tidak akan berbeda jauh untuk perbankan Syariah.
Di bulan Juli, aktivitas ekonomi mulai meningkat seiring dengan mulai diberlakukannya PSBB transisi dan adaptasi kebiasaan baru. Akan tetapi, pandemi masih belum hilang sepenuhnya, sehingga aktivitas pun belum kembali normal.
“Perbankan syariah masih bisa tumbuh di segmen-segmen nasabah berpenghasilan tetap (untuk pembiayaan konsumer), dan sektor-sektor industri yang tidak terdampak atau terdampak ringan seperti sektor telekomunikasi, makanan dan minuman, kimia atau farmasi, serta alat kesehatan,” tutur Yosita.
Kondisi pandemi membuat pertumbuhan pembiayaan 2020, disebut Yosita, dapat dipastikan akan lebih rendah dibandingkan 2019. Pendapatan dipastikan akan menurun, maka menurutnya, bank syariah perlu meningkatkan efisiensi biaya-biaya intermediasi dengan mengoptimalkan digitalisasi proses perbankan, baik digitalisasi transaksi nasabah maupun digitalisasi proses operasional internal bank.
Ekspansi juga harus dilakukan dengan selektif untuk menekan risiko pembiayaan, serta memanfaatkan stimulus pemerintah seperti penjaminan pemerintah pada perusahaan-perusahaan padat karya.
Kemudian, untuk menangani nasabah-nasabah pembiayaan yang mengalami restrukturisasi, setiap bank sebaiknya memiliki task force khusus untuk mengelola nasabah tersebut dan menurunkan nilai risiko pembiayaan.
“Berkolaborasi dengan lembaga-lembaga sosial dalam membantu masyarakat terdampak agar ekonomi terus berjalan dan semua pihak dapat kembali bangkit dan tumbuh bersama dalam pemulihan ekonomi,” ujar Yosita.
Serangkaian kebijakan stimulus imbas dari Covid-19 pun dikeluarkan sejumlah lembaga untuk perbankan syariah, diantaranya POJK No. 11 /POJK.03/2020 terkait restrukturisasi kredit, dimana bank dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak Covid-19, yaitu debitur pada sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.
Dalam POJK tersebut juga disebutkan pelonggaran penilaian kualitas kredit atau pembiayaan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan bunga untuk kredit sampai dengan Rp10 miliar. Kemudian, peningkatan kualitas kredit atau pembiayaan menjadi lancar setelah restrukturisasi. Restrukturisasi kredit atau pembiayaan dapat dilakukan tanpa batasan plafon kredit atau jenis debitur (UMKM dan non-UMKM).
Kemudian ada juga kebijakan stimulus imbas Covid-19 ini terkait relaksasi penyampaian laporan berkala yang termaktub dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 18/POJK.03/2020. Aturan ini mengatur kewenangan OJK memberikan perintah tertulis untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambil alihan dan/atau integrasi yang bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dalam kondisi pandemi.
Selanjutnya, POJK No. 34/POJK.3/2020 yang memberikan relaksasi bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan meringankan penghitungan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif umum, nilai Agunan Yang Diambil Alih sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan KPMM, dan penyediaan dana dalam bentuk penempatan dana antar bank.
Lalu ada Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 22/10/PADG/2020 Bank Indonesia, di dalamnya mencakup penurunan suku bunga menjadi 4 persen, penurunan GWM valas menjadi 4 persen, penurunan GWM rupiah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebesar 50bps dari 4 persen menjadi 3,5 persen, penurunan GWM rupiah sebesar 250 bps menjadi 3 persen untuk bank yang melakukan kegiatan ekspor-impor, pembiayaan UMKM, dan sektor prioritas lain
Selain itu, dalam PADG Nomor 22/10/PADG/2020 Bank Indonesia juga mencakup pelonggaran terkait kartu kredit yaitu bunga dari 2,25 persen menjadi 2 persen, minimal payment dari 10 persen menjadi 5 persen, dan denda keterlambatan dari 2 persen menjadi 1 persen, lalu penyesuaian ketentuan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah sebagai langkah antisipatif dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan.
Sementara dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ada juga kebijakan stimulus yang dilahirkan, yakni melonggarkan pembayaran premi penjaminan mulai Juli 2020 mendatang sehingga bank yang terlambat membayar premi tidak terkena denda. Pelonggaran selama 6 bulan terhitung mulai Juli 2020.
Penulis: Andika & Aldi
Redaktur Pelaksana: Ishmah Qurratu'ain